COIGA BARU

Menu1

Pencarian

Tampilkan postingan dengan label YOI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label YOI. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 September 2011

YOI Harus Mencari Solusi Pendanaannya

Sumber Asli -- CINTA OLAHRAGA INDONESIA - JAKARTA – Kehidupan memprihatinkan yang dialami para mantan olahragawan Indonesia, menggugah hati banyak pihak. Selain pemerintah, beberapa yayasan juga merasa terpanggil untuk melakukan hal tersebut, seperti Yayasan Olahragawan Indonesia (YOI).
- Akan tetapi, banyak yayasan yang akhirnya tak bisa melanjutkan bantuannya kepada para mantan olahragawan. Persoalan yang kerab dihadapi adalah faktor dana. Bagaimana yayasan-yayasan kemanusiaan ini bisa bertahan dalam kemandiriannya?

"Yayasan yang ada sekarang, tidak banyak yang eksis dalam jangka panjang karena masalah dana operasional. Karena itu, perlu kreativitas pemberdayaan segala upaya agar yayasan tetap berjalan, dan bantuan untuk para mantan olahragawan tetap berkesinambungan," demikian penjelasan Anton Sajoyo, pengamat olahraga, dalam diskusi olahraga, Selasa (13/9/11), di Jakarta.

"Pendanaan sebuah yayasan, seperti Yayasan Olahragawan Indonesia, perlu dijadikan contoh untuk yang lainnya, karena YOI menciptakan usaha yang menguntungkan sebagai upaya memperoleh dana yang akan diserahkan untuk kegiatan memberdayakan mantan olahragawan yang hidupnya masih sangat prihatin," jelas Anton.

Sukarnah (lempar lembing) dan Nico Thomas (petinju), adalah dua dari banyaknya mantan olahragawan yang hidupnya memprihatinkan. Mereka adalah potret keironisan olahraga di Indonesia. Indahnya prestasi yang mereka torehkan tidak seindah guratan kehidupan yang dijalani.

Lebih lanjut Anton menjelaskan: "Dalam upaya mengangkat taraf kehidupan ekonomi mantan atlet, pemerintah telah melakukan berbagai bantuan. Wujud kepedulian pemerintah ini masih harus dibantu oleh pihak swasta, karena Pemerintah sendiri juga tidak mempunyai dana yang cukup untuk membantu memberdayakan para mantan atlet.

"Banyak mantan olahragawan yang mendapatkan bantuan dana, rumah, maupun modal usaha. Tetapi, dengan banyaknya jumlah mantan olahragawan yang memerlukan bantuan, pemerintah pun memerlukan bantuan dari pihak lain, dalam hal ini pihak swasta, seperti yang telah dilakukan Yayasan Olahragawan Indonesia."

Program-program sosial yang dilaksanakan pemerintah untuk membantu mantan olahragawan yang hidupnya memprihatinkan didukung oleh dana yang telah dianggarkan secara khusus untuk kepentingan olahraga di Indonesia. Bagaimana dengan pihak swasta seperti yayasan?

Lain halnya dengan pemerintah, sebuah yayasan harus berusaha sendiri dalam memperoleh pendanaan. Sokongan dana yayasan biasanya didapat dari donatur/sponsor, maupun kepedulian individu. YOI sebagai yayasan yang peduli terhadap perolahragaan di Indonesia, terutama olahragawan dan mantan olahragawan, juga memerlukan sokongan dana untuk tetap mewujudkan impian, yaitu Indonesia Juara.

Dalam diskusi yang sama, Suharyadi, mantan petenis nasional yang juga suami dari Yayuk Basuki mengatakan: "Sebaiknya mantan atlet sudah harus mempersiapkan dirinya untuk memasuki masa pensiun. Setiap atlet hendak tetap fokus pada keahliannya di masa pensiun, dengan mempersiapkan diri untuk menjadi pelatih, mendirikan sekolah tenis atau cabang lainnya, yang tentunya persiapan ini harus dibantu terutama oleh pemerintah, dan pihak swasta juga."

"Yayasan yang membantu mantan olahragawan, memang harus berusaha sendiri untuk tetap eksis, sehingga dapat terus berkomitmen menjalankan program-program sosialnya, terutama dalam memberdayakan mantan atlet, untuk bisa menjadi, misalnya: pelatih di bidangnya masing-masing.

"Oleh karena itu, YOI harus mencari solusi pendanaannya dengan melibatkan seluruh insan yang peduli dan cinta terhadap olahraga di Indonesia, dan ini perlu dukungan semua pihak."

Contohnya seperti YOI, yang pendanaan utamanya didapat dari penjualan kartu perdana dan voucher pulsa Kartu Prima Merah Putih yang kerjasama dengan Telkomsel. Nantinya, 80 persen dari penjualan Kartu Prima Merah Putih akan ditujukan untuk membantu olahraga Indonesia, khususnya mantan olahragawan.

Penjualan Kartu Prima Merah Putih akan menyongkong pendanaan yayasan ini untuk mencapai maksud dan tujuannya, Indonesia Juara. Yayasan harus mengutamakan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Setiap hasil yang didapat dari penjualan Kartu Prima Merah Putih dapat dipertanggungjawabkan.

Yayasan-yayasan yang berdiri untuk membantu mantan olahragawan, yang berdiri karena kepeduliannya terhadap olahraga di Indonesia, hendaknya dapat juga mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama terpanggil ikut berpartisipasi membantu olahragawan maupun mantan olahragawan Indonesia, seperti YOI dengan program Kartu Prima Merah Putihnya.

Kepedulian terhadap olahraga di Indonesia juga merupakan kepedulian masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan secara tidak langsung masyarakat Indonesia juga ikut serta berpartisipasi dalam membantu mantan olahragawan dan olahragawan, untuk Indonesia Juara.***

Rabu, 07 September 2011

YOI Diharapkan Terus Bantu Mantan Atlet

Sumber Asli -- CINTA OLAHRAGA INDONESIA - Sekjen Masyarakat Olahraga Indonesia (MOI), Tommy Firman mengharapkan Yayasan Olahragawan Indonesia (YOI) terus memperhatikan mantan atlet yang masih ada di bawah garis kemiskinan.
- Tommy menambahkan, bantuan yang diberikan pada mantan atlet itu tidak hanya dalam bentuk materi. Namun, selain materi sebaiknya juga dalam sektor pendidikan, seperti halnya sektor usaha maupun asuransi pendidikan bagi putra-putrinya. Dengan demikian, kehidupan mantan atlet mendapat perhatian serius dari pihak swasta.

"Memperhatikan kehidupan masa depan atlet ketika sudah pensiun tentunya menjadi kewajiban pemerintah," kata Tommy.

Sebab, saat masih dalam masa keemasaannya sebagian besar mantan atlet mencurahkan hidupnya untuk membawa nama harum bangsa dan negara, ketika mengibarkan bendera Merah-Putih diberbagai negara.

Tommy yang juga peraih dua medali emas di cabang karate SEA Games XIX Jakarta tahun 1997 ini menegaskan, perhatian penuh pada mantan atlet sudah dilakukan pemerintah Malaysia, Thailand dan China. Atlet yang berhasil menyumbang medali emas di SEA Games saja, kelangsungan hidup serta anak istrinya ditanggung pemerintah. Apalagi mantan atlet yang pernah mengukir medali emas di kejuaraan dunia maupun Olimpiade.

Perhatian pemerintah Malaysia hendaknya harus dicontoh Indonesia, jika hendak pembibitan dan pembinaan atlet mengalami peningkatan. Sementara saat ini pembibitan dan pembinaan atlet nasional semakin merosot. Bahkan saat menerjunkan atletnya di berbagai event internasional masih mengandalkan atlet yang sudah udzur.

"Kondisi seperti itu bisa berubah, dengan catatan ada perhatian pemerintah terhadap kehidupan mantan atlet," ujarnya.

Bila perhatian itu muncul dan berjalan seperti Malaysia, maka para orang tua tidak keberatan putra-putrinya menekuni profesi sebagai atlet nasional, hingga mencapai prestasi puncak baik di kejuaraan dunia maupun Olimpiade.***

Rabu, 31 Agustus 2011

Peraih Emas Balap Sepeda Ini Jadi Penarik Becak

Sumber Asli -- CINTA OLAHRAGA INDONESIA - Dipuja ketika masih berjaya, ditelantarkan saat sudah tidak berdaya. Barangkali itulah gambaran nasib sebagian mantan atlet nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa dan negara saat ini.
- Cerita sedih dan memilukan itu juga menimpa salah satu atlet balap sepeda nasional asal Surabaya, Jawa Timur, bernama Suharto. Dia kini berprofesi sebagai penarik (tukang) becak.

Siapa sangka, mantan pebalap yang kini berusia 59 tahun itu pernah merebut medali emas pada SEA Games 1979 di Malaysia untuk nomor "Team Time Trial" jarak 100 kilometer. Bersama tiga rekannya saat itu, yakni Sutiono, Munawar Saleh, dan Dasrizal, tim balap sepeda Indonesia mampu mempecundangi pesaingnya dari Malaysia dan Thailand untuk merebut medali emas.

Dua tahun sebelumnya, di SEA Games 1977 yang berlangsung di Thailand, Suharto menyumbangkan dua medali perak untuk kontingen "Merah Putih" dari nomor jalan raya beregu dan perorangan.

"Saat itu, tim balap sepeda Indonesia tampil cukup solid sehingga bisa merebut medali emas," kata Suharto saat ditemui Antara di tempat kosnya di Jalan Kebon Dalem VII, Surabaya, Selasa (30/8/11).

Ia menceritakan bahwa kekuatan balap sepeda Indonesia pada era 1970-1980-an cukup disegani di kawasan Asia Tenggara.

Kenangan menjadi juara SEA Games tidak pernah dilupakan Suharto. Di kamar kos yang hanya berukuran 2 x 3 meter, Suharto menyimpan rapi seluruh medali dan piagam penghargaan yang pernah diperoleh dari berbagai ajang balapan nasional dan internasional.

Bapak tiga orang anak itu juga mengumpulkan kliping berita dari berbagai media cetak yang memuat keberhasilan tim balap Indonesia, termasuk juga foto bersama Presiden RI Soeharto.

"Semuanya masih saya simpan dan sekali waktu kalau kangen, saya buka lagi kliping-kliping itu," ujar pria kelahiran Surabaya pada 18 Februari 1952 itu.

Suharto menuturkan, ketika berhasil merebut medali di ajang SEA Games, dia dan teman-temannya tidak pernah memperoleh bonus uang dari pemerintah, seperti yang diterima atlet-atlet nasional saat ini.

"Kami hanya mendapatkan semacam piagam penghargaan yang diserahkan Gubernur Jatim di Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Waktu itu cuma diajak makan-makan, tidak diberi uang saku," tambahnya.

Perkenalan pada cabang olahraga balap sepeda memang tidak disengaja. Saat itu di awal tahun 1970-an, Suharto memulai latihan dengan menggunakan sepeda "pancal" milik ayahnya yang dimodifikasi menjadi sepeda balap.

Kendati tidak mendapatkan izin dari ayahnya, Suharto nekat mengikuti lomba balap sepeda tingkat lokal Piala Wali Kota Surabaya dan tampil sebagai juara. Setelah itu, Suharto yang seangkatan dengan mantan pebalap nasional Sutarwi dan Sapari (keduanya dari Jatim) itu, bergabung dengan klub balap sepeda Porseni Korpri Surabaya dan mengikuti beberapa balapan level nasional.

"Saya dipanggil bergabung di tim nasional setelah mengalahkan pebalap nasional pada kejuaraan di Jawa Barat sekitar tahun 1975. Kemudian saya masuk tim SEA Games 1977," tuturnya.

Bersama sejumlah pebalap nasional, Suharto mendapatkan kesempatan dari Pengurus Besar Ikatan Sport Sepeda Indonesia (PB ISSI) mengikuti pemusatan latihan di Swiss selama beberapa bulan. Setelah hanya merebut medali perak pada 1977, dua tahun berselang, Suharto akhirnya mampu mempersembahkan medali emas untuk Indonesia.

"Saya memutuskan berhenti dari balapan pada tahun 1981, karena tuntutan ekonomi. Apalagi, saat itu juga tidak ada janji apa-apa dari pemerintah untuk diberikan pekerjaan," katanya.

Kerja serabutan

Setelah memutuskan gantung sepeda, nasib Suharto menjadi tidak menentu. Untuk menyambung hidup, ia terpaksa bekerja serabutan. Menjadi kernet angkutan kota, membantu tetangganya berjualan ayam kampung atau berjualan alat pendingin ruangan (AC) bekas, pernah dia jalani sebelum akhirnya menjadi tukang becak hingga sekarang.

Bersama istrinya, ia hidup sangat sederhana dan berpindah-pindah tempat kos. Sebelum menyewa kamar kos di kawasan Kebon Dalem VII yang sudah ditempati lebih dari 15 tahun, Suharto pernah kos di kawasan Sukodono, Surabaya.

Sehari-hari dia kini menjadi penarik becak di sekitar kawasan wisata religi Makam Sunan Ampel yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.

"Uang dari hasil menarik becak hanya cukup untuk makan keluarga. Kalau ada sisanya kami tabung untuk bayar sewa kamar kos," ujarnya.

Namun, hampir tiga bulan terakhir dia harus istirahat dari rutinitas menarik becak, karena penyakit hernia yang dideritanya sejak dua tahun lalu. Karena merasa tidak tahan dengan sakit yang terus menderanya, Suharto memberanikan diri datang ke kantor KONI Jatim pada sekitar Mei 2011 untuk meminta bantuan.

Ketua Harian KONI Jatim, Dhimam Abror Djuraid, sangat terkejut dan trenyuh mengetahui kondisi mantan atlet balap sepeda nasional itu. Apalagi, saat datang ke kantor KONI Jatim, bagian perut Suharto diikat dengan bekas ban dalam sepeda sebagai penahan rasa nyeri akibat penyakit hernianya.

"Saya dibantu Pak Abror untuk menjalani operasi pengangkatan hernia. Sekarang kadang-kadang masih terasa sakit dan belum boleh bekerja berat dulu," kata Suharto.

Abror mengatakan, pihaknya akan berupaya membantu Suharto untuk mendapatkan penghargaan dari pemerintah, karena pernah memiliki prestasi internasional.

"Pak Harto ini layak mendapatkan penghargaan dari pemerintah. Dia pernah menjadi juara SEA Games, tapi sekarang hidupnya memprihatinkan," ujarnya.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) memiliki program pemberian hadiah rumah kepada mantan-mantan atlet nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa dan negara Indonesia di pentas internasional.

"Saya tidak pernah baca koran, jadi tidak tahu kalau ada program rumah gratis bagi mantan atlet nasional dari pemerintah," tambah Suharto.

Kendati sudah 30 tahun pensiun dari balap sepeda, Suharto masih memiliki niatan untuk kembali menekuni olahraga yang pernah membesarkan namanya itu.

"Kalau ada kesempatan dan modal, saya pingin menjadi pelatih. Jelek-jelek begini, saya pernah mengikuti pelatihan di luar negeri loh," kata Suharto menutup pembicaraan. ***

Kamis, 25 Agustus 2011

Mantan Atlet Mulai Dapat Perhatian

Sumber Asli -- CINTA OLAHRAGA INDONESIA - Yayasan Olahragawan Indonesia (YOI) telah memberikan bantuan kepada mantan binaragawan Wempi Wungai dan mantan petinju Hasan Lobubun. Selain bantuan dana, bantuan itu meliputi asuransi kesehataan, sokongan pendidikan, dan pembinaan pelatihan.
- Wempi Wungau adalah mantan binaragawan yang pernah meraih medali perak pada Asian Games 2002 di Busan, Korea Selatan. Sayang, setelah tidak lagi menjadi atlet hidupnya pas-pasan.

"Dulu, ketika saya mendapatkan medali perak di Asian Games 2002 di Busan, Korea Selatan, saya sampai menangis. Itu pertama kalinya cabang binaraga menang," kata Wempi Wungau.

Lain halnya dengan Hasan Lobubun, salah satu petinju hebat yang pernah dimiliki Indonesia. Juara nasional kelas bantam junior tahun 1987 ini tiada henti berjuang di dalam hidupnya. Setelah tidak menjadi petinju di juga bergulat dengan masalah ekonomi.

"Hidup saya sekarang susah. Sekarang saya menjadi ’boncos’ (pemulung)," ujar Hasan Lobubun.

Ketua YOI, Andjas Asmara mengatakan, perjuangan olahragawan maupun mantan olahragawan demi menunjukkan eksistensi bangsa di kancah internasional patut dihargai.

"Mantan atlet seperti Hasan Lobubun dan Wempi Wungai dalam perjalanan hidupnya dari mulai masa jayanya sebagai salah satu olahragawan hebat yang pernah dimiliki Indonesia hingga kehidupan di masa pensiunnya saat ini," ujarnya.***

Kisah Tragis Pahlawan Olahraga Indonesia: Wempi Titipkan KTP di RS, Hasan Jadi Pemulung

Sumber Asli -- CINTA OLAHRAGA INDONESIA - JAKARTA - Kisah sedih dan memilukan tak pernah berhenti menimpa sejumlah olahragawan di Tanah Air, yang pernah mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia. Kali ini, giliran dua mantan atlet, Wempi Wungau dan Hasan Lobubun, menuturkan nasib tragis mereka ketika sudah pensiun.
- Dalam acara penerimaan tali kasih sekaligus buka puasa bersama yang digelar Yayasan Olahragawan Indonesia (YOI), Rabu (24/8/11) di Jakarta, mantan binaragawan dan petinju itu berkeluh-kesah. Mereka bercerita tentang nasibnya yang sangat memprihatinkan setelah berulang kali mengibarkan bendera Merah-putih di berbagai event bergengsi.

Wempi, yang beberapa kali menjadi juara binaraga di ajang SEA Games sejak 1989 hingga 1997, mengaku dikhianati. Janji-janji muluk yang diterimanya ketika masih menjadi atlet, tak pernah terwujud hingga sekarang, sehingga dia harus rela jadi penganggur, dan bekerja atas belas kasihan orang-orang tertentu jika mengajaknya sebagai pengawal pribadi.

"Saya pernah dijanjikan untuk kerja, bahkan sudah ikut tes di kantor pemerintah di Gatot Subroto, tetapi tidak pernah dipanggil," ujar Wempi, yang mengatakan janji tersebut diberikan setelah dirinya meraih medali perak Asian Games 2002 di Busan, Korea Selatan.

Karena tak punya pekerjaan tetap, Wempi merasa sangat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Padahal, hanya demi meraih prestasi, dia sudah menekuni olahraga sejak usia 12 tahun dan rela terlambat menikah. Alhasil, ketika usianya kini sudah 48 tahun, dia masih harus memikirkan tentang nasib anaknya yang paling kecil, yang baru berusia dua bulan.

"Ketika istriku melahirkan putri ketiga dua bulan lalu, saya terpaksa menitipkan KTP di Rumah Sakit Agung Jakarta Selatan, karena harus menyediakan uang Rp 8 juta. Padahal saya tidak punya uang.

"Beruntung, ada teman-teman yang mau membantu, begitu juga dengan saudaraku, sehingga uang itu bisa terkumpul dan saya bisa menebusnya," jelas Wempi, yang 34 tahun menekuni kariernya sebagai atlet nasional.

Namun, cerita tragis Wempi ini sebenarnya sudah dimulai sejak dia menjadi atlet. Sebagai atlet yang mengharumkan nama bangsa, bukannya dia mendapat bonus yang lebih, malah penghasilannya "disunat" oleh oknum di KONI. Ini yang membuatnya sangat pesimistis bahwa nasib atlet Indonesia bisa bagus.

"Waktu meraih medali perak di Asian Games, seharusnya saya mendapat bonus Rp 150 juta. Tetapi, saya hanya mendapat Rp 100 juta dari Bank Mandiri yang merupakan sponsor," terangnya.

"Saat pencairan bonus, orang di Bank Mandiri juga sempat kaget karena saya hanya terima Rp 100 juta, karena mereka tahu seharusnya saya dapat Rp 150 juta. Tapi itulah, mungkin kami atlet ini dianggap bodoh, sehingga mereka (oknum di KONI) memotong seenaknya," tambah Wempi, yang mengaku momen paling indah selama menjadi atlet nasional adalah ketika menyabet perak di Busan.

"Ya, di Busan itu merupakan kenangan paling indah karena meskipun hanya medali perak, tetapi itu adalah sejarah dalam olahraga binaraga Indonesia. Saya sampai menangis ketika pengibaran bendera Merah-putih," tambahnya.

Mantan petinju jadi pemulung

Jika Wempi tak punya penghasilan tetap karena hanya jadi pengawal pribadi orang-orang tertentu, lain halnya dengan Hasan. Kehidupan mantan juara nasional kelas bantam junior tahun 1987 ini lebih tragis lagi.

Ketika masa jayanya Hasan selalu dipuja dan diperhatikan, kini dia nyaris jadi gelandangan di Jakarta. Bagaimana tidak, Hasan sekarang harus menjalani kehidupan sebagai seorang pemulung. Dari satu tempat ke tempat lain, dia mengais rejeki dari tumpukan barang bekas.

"Saya tiap hari tidur di Mesjid di Tanah Abang 4 karena tidak punya rumah di Jakarta. Rata-rata tiap satu bulan saya pulang ke Bogor untuk menjenguk anak dan istri, yang tinggal di rumah orang tuanya," jelas Hasan, yang berasal dari Maluku ini.

Bantuan YOI

Wempi dan Hasan mendapat tali kasih dan bingkisan dari YOI, yang diberikan oleh ketua YOI, Anjasmara. Mantan pemain tim nasional sepak bola era 1970-an ini merasa prihatin dengan nasib dua mantan atlet berprestasi tersebut.

Dalam keterangannya, Anjasmara mengatakan bahwa YOI akan selalu memperhatikan nasib atlet tak beruntung. Karena itu, setiap dua bulan mereka akan menggelar acara seperti ini (tali kasih).

Meskipun demikian, pihak YOI mengakui bahwa mereka masih kesulitan mendata para mantan atlet berprestasi yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Pasalnya, alamat mereka (mantan atlet) hampir tak bisa ditemukan.

"Alamat hari ini dan keesokan harinya tak sama. Misalnya hari ini kami datang menengok dan besoknya kembali ke sana, mereka tak bisa ditemui lagi karena sudah pindah. Ini yang membuat kami kesulitan," ujar anggota YOI, Dirgantoro Soebroto.***

Rabu, 01 Juni 2011

YOI Lahir Dari Keprihatinan Pada Nasib Atlet

Sumber Asli -- CINTA OLAHRAGA INDONESIA - JAKARTA - Seorang atlet hanya dikenang ketika dia meraih prestasi dan mengharumkan nama bangsa. Setelah masa kejayaannya berlalu, nasib sang pahlawan negara tersebut tak mendapat perhatian lagi, bahkan disia-siakan. Itulah kenyataan yang harus dihadapi para olahragawan, meskipun mereka seharusnya pantas mendapatkan penghargaan atas jasa-jasanya tersebut.
- Lantaran prihatin dengan apa yang terjadi pada dunia olahraga Indonesia, dibentuklah Yayasan Olahragawan Indonesia (YOI) yang berusaha "menggelitik" semua orang agar mau memperhatikan nasib atlet. Pasalnya, jika mereka (atlet) ditelantarkan, maka akan memberikan dampak negatif terhadap minat generasi muda untuk menjadi olahragawan.

"Banyak pahlawan olahraga yang dulunya berjasa mengharumkan nama bangsa, tetapi sekarang hidupnya sangat memprihatinkan. Selain perlu dukungan moril maupun materiil, pemberdayaan perlu dilakukan agar kualitas kehidupan mereka menjadi layak. Kita harus mendukung mantan olahragawan, demi kemajuan olahraga Indonesia," jelas Rudy Hartono, selaku Dewan Pengawas YOI.

Rudy, yang mengukir prestasi di arena bulu tangkis karena pernah jadi juara All England sebanyak delapan kali, juga memberikan contoh para olahragawan yang terlupakan.

"Sebagian besar masyarakat di Tanah Air sudah melupakan nama Nanda Telambanua, pemecah rekor angkat berat dunia junior 1984, yang sempat mencari nafkah sebagai penarik ojek. Begitu juga dengan Martha Kase, peraih medali emas nomor lari SEA Games 1987 yang kini mengais rezeki hanya sebagai penjual teh botol. Peraih juara dunia tinju (IBF), Ellyas Pical, terpaksa sempat menjadi satpam diskotik di masa pensiunnya. Namun berkat uluran tangan mantan Menpora Adhyaksa Dault, mantan juara dunia itu kini diarahkan bekerja di kantor KONI/KOI," tambahnya.

Padahal, para olahragawan yang berprestasi itu pernah mengibarkan bendera Merah-putih di luar negeri. Bukan hal baru jika ada pernyataan bahwa Merah-Putih bisa berkibar di negara lain hanya karena ada dua momen, yaitu pertama saat kunjungan Presiden RI keluar negeri dan kedua saat olahragawan meraih prestasi puncak dengan menyumbang medali emas bagi Indonesia. Jadi, para olahragawan pantas diperhatikan.

"Lagu Indonesia Raya berkumandang dan Merah-Putih berkibar saat para mantan olahragawan itu mengukir tampuk juara. Hal itu tentunya yang harus kita ingat dan mereka harus mendapat penghidupan yang layak."

"Kehidupan mantan olahragawan sekarang ini dapat berdampak terhadap generasi muda bangsa Indonesia. Kehidupan ekonomi mereka yang memprihatinkan dapat memengaruhi persepsi mereka terhadap olahraga di Indonesia. Nantinya, ditakutkan generasi muda bangsa ini tidak lagi menaruh minat untuk menjadi olaharagawan. Seharusnya para mantan olahragawan dapat menjadi inspirator bagi generasi muda Indonesia."

"Dukungan dari kita semua sangat besar andilnya terhadap pembangunan olahraga di Indonesia, salah satunya, kini hadir Yayasan Olahragawan Indonesia (YOI), di mana YOI bertujuan untuk membangun karakter Bangsa Indonesia yang unggul, serta secara khusus peduli pada nasib para olahragawan maupun mantan olahragawan Indonesia," ujar Rudy yang menambahkan, menjelang SEA Games ini perlu digalakkan kepedulian terhadap nasib olahragawan untuk memacu semangat olahraga demi mewujudkan tekad Indonesia juara. ***

Jumat, 15 April 2011

YOI Bakal Memulai Menyantuni Mantan Atlet

Sumber Asli -- CINTA OLAHRAGA INDONESIA - JAKARTA - Yayasan Olahragawan Indonesia (YOI) akan memulai perjuangannya untuk memberikan santunan kepada para mantan atlet yang bernasib kurang beruntung. Ketua YOI, Andjas Asmara menyatakan akan mengawali langkah itu setelah kerjasama dengan salah satu perusahaan jasa operator telepon Telkomsel.
- "Kami akan mencoba memberikan santunan, setidaknya dapurnya bisa terus aktif setiap bulannya," kata Andjas saat ditemui di kantor baru YOI di gedung Pertama Kuningan, Jumat (15/4).

Santunan itu akan diberikan setelah kerjasama dalam bentuk penjualan voucher pulsa untuk pengguna telepon genggam yang memakai operator Telkomsel dimulai. "Rencananya voucher itu akan diluncurkan pada 26 Mei mendatang," katanya. Bagian dari keuntungan hasil penjualan voucher itu kemudian akan menjadi modal bagi YOI untuk bisa memberikan santunan kepada mantan atlet yang kini hidup berkekurangan.

Petinju legendaris Indonesia, Ellyas Pical, akan menjadi salah satu nominator utama yang akan mendapatkan santunan dari YOI ini. Atlet yang menjadi petinju Indonesia pertama yang menyandang gelar juara dunia itu kini tidak mendapatkan penghidupan yang layak. Sumber pendapatan utamanya berasal dari pekerjaaanya sebagai penjaga keamanan di sebuah tempat hiburan malam. "Sebagai seorang yang pernah mengharumkan nama bangsa, Pical seharusnya bisa mendapatkan penghidupan yang lebih layak," kata Andjas.

Selain Ellyas Pical, Andjas juga telah mengantongi beberapa nama lain salah satunya seperti rekan seprofesi Pical, Nicholas Thomas atau yang lebih dikenal dengan nama Nico Thomas. Ada juga mantan pebulutangkis era tahun 1970-an. Andjas berharap nantinya YOI juga mendapatkan dukungan sponsor dari pihak lain agar modal yang dapat digunakan bisa semakin banyak.

Selain memberikan santunan, YOI juga diarahkan untuk bisa mengontrol sistem pembinaan cabang-cabang olahraga mendunia. "Seperti sepakbola, tinju, taekwondo,bulutangkis, dan cabang-cabang olahraga lainnya," katanya. Andjas berharap sistem pembinaan yang tepat bisa diterapkan pada para atlet muda agar nantinya bisa diciptakan juara-juara masa depan.

Andjas mencontohkan seperti sepakbola. "SSB (sekolah sepakbola) yang ada saat ini tidak menerapkan metode pelatihan skill individu yang tepat. Itu yang harus dibenahi," kata Andjas. Untuk proyek yang satu ini, Andjas menyatakan masih berjuang untuk mencari dukungan sponsor.
***
KAMI dari COI melayani pembuatan PRESS RELEASE atau TULISAN OLAHRAGA dan siap membantu menggelar JUMPA PERS dengan mengundang wartawan media cetak dan televisi sesuai pilihan Anda. CP: 087783358784 atau email ke aagwaa@yahoo.com

TERPOPULER COI